Tanya :
Ustadz, hukum makan hiu apa? Saya mau makan ikan hiu bersama teman dan tidak sempat membuka kitab. (Lazuardi, Jakarta).
Jawab :
Ikan hiu (Inggris : shark) dalam literatur bahasa Arab disebut
al-qirsyu. Dalam Kamus Al-Maurid, diterangkan bahwa shark (ikan hiu)
adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti
kebuasannya (al-qirsy samakun muftarisyun ba'dhuhu kabiirun yukhsya
syarruhu).
Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya
halal menurut keumuman dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah (M. Masykur
Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62). Dalil Al-Qur`an antara lain firman
Allah SWT :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari
laut sebagai makanan yang lezat bagimuc" (QS Al-Maidah [5] : 96).
Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan :قوله تعالى أحل لكم صيد البحر هذا حكم بتحليل صيد البحر وهو كل ما صيد من حياته
"Firman Allah Ta'ala أحل لكم صيد البحر (dihalalkan bagimu binatang
buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut,
yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya..." (Al-Jami'
li Ahkam Al-Qur`an, Imam Al-Qurthubi, 6/318).
Dalil hadis antara lain sabda Nabi SAW :
هو الطهور ماؤه الحل ميتته
"Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya." (HR. Malik, Ashhabus
Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain) (Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423;
Al-Mustadrak 'Ala Ash-Shahihain, no. 491).
Dalam kitab Aunul Ma'bud dijelaskan hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya :
أن جميع حيوانات البحر أي ما لا يعيش إلا بالبحر حلال
"Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di
laut, adalah halal." (Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy Abu
Ath-Thayyib, Aunul Ma'bud, Juz 1/107).
Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil
Al-Quran dan As-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.
Memang ada sebagian ulama Syafi'iyah yang mengharamkan ikan hiu, Karena
ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya'duw
bi-naabihi). (Abul 'Ala` Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, 1/189; Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus
Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang
mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring. Diriwayatkan oleh
Abu Tsa'labah Al-Khusyani RA, bahwasanya :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ االسِّبَاعِ
"Nabi SAW telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring." (HR Muslim, no. 3571)
Namun Al-Muhib Ath-Thabari memfatwakan bahwa al-qirsyu (ikan hiu) adalah
halal, mengikuti fatwa Ibnul Atsir dalam kitabnya An-Nihayah. Menurut
Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini pengarang kitab Mughni Al-Muhtaj pendapat
yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (Asy-Syarbini, Mughni
Al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus Sabiil mengatakan, pendapat
yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah (wal asyhar annahu mubaah).
(Ibrahim bin Muhammad; Manarus Sabiil, 2/368).
Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan ikan hiu
itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah yang
telah kami sebutkan di atas. Adapun dalil hadits Abu Tsala'bah
Al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan
hiu, tidak dapat diterima. Karena hadits tersebut hanya berlaku untuk
binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayaman al-barr), tidak
mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal
ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut
secara umum, termasuk ikan hiu.
Hukum bolehnya ikan hiu ini kami anggap lebih rajih, karena didasarkan
suatu kaidah dalam ushul fikih (qaidah ushuliyah), bahwa semua dalil
hendaknya diamalkan, bukan ditanggalkan (tidak diamalkan). Imam
Taqiyuddin An-Nabhani menegaskan :
الأصل في الدليل هوالإعمال لا الإهمال
"Prinsip asal mengenai dalil adalah wajib diamalkan, bukan diabaikan
(tidak diamalkan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyah, 1/240).
Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang
laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits Abu
Tsa'labah Al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meski pun dengan
membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring,
tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua
dalil diamalkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits
Abu Tsa'labah Al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup
pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap
dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian,
tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang
mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi
lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua bnatang laut, tidak
diamalkan.
Padahal, mengamalkan dua dalil adalah lebih utama daripada satu dalil,
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ushul fikih (qaidah
ushuliyah) :
إعمال دليلين أولى من إهمال أحدهما بالكلية
"Mengamalkan dua dalil lebih utama dari mengabaikan salah satu dalil
secara menyeluruh." (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyah, 1/240).
Berdasarkan itu, maka pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih
kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada,
sebagaimana dijelaskan di atas.
Kesimpulannya, ikan hiu adalah halal. Wallahu a'lam.
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !