A. BASIS AKUAKULTUR
Akuakultur
merupakan suatu kegiatan produksi biota akuatik (animal dan aquatic
plant) untuk tujuan komersial yang melibatkan aktivitas pembenihan,
pendederan, pembesaran, pemanenan, handling dan transportasi, serta
pemasaran. Penjelasan tentang komponen bioteknis akuakultur, meliputi
pengadaan benih, manajemen media, kesehatan, dan pakan serta
interaksinya. Aspek ekonomis seperti pemilihan komoditas dan potensi
pasar juga diajarkan. Dasar-dasar Akuakultur menjelaskan tentang
komponen akuakultur yang terdiri dari ikan, air, wadah dan pakan, serta
hubungan antar komponen tersebut, prinsip-prinsip yang mendasari
peningkatan produktivitas perairan dan pengelolaan akuakultur yang
berorientasi kepada keuntungan dan keberlanjutan, mulai skala unit
terkecil hingga kawasan akuakultur.
Basis akuakultur meliputi :
Akuakultur Berbasis Tropical Level
Konsep
akuakultur berbasis tropical level yakni limbah menjadi pakan alami
merupakan langkah tepat untuk membangkitkan perikanan nasional.
Demikian ungkap Prof Enang Harris Surawidjaja pada Orasi Ilmiah Guru
Besar Tetap Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor (IPB) Sabtu (20/5) di Auditorium Rektorat
Kampus IPB Bogor. Pada era makanan alami, produksi akuakultur Indonesia
masih berbentuk piramida aeotrophic level. Akuakultur berbasis tropical
level atau piramida tingkatan rantai makanan yakni ikan karnivora
(pemakan daging) berada pada puncaknya, disusul omnivora (pemakan
segala), selanjutnya herbivora (pemakan tumbuhan) dan detritivora
(pengurai). Saat itu ikan karnivora relatif sedikit disusul omnivor
selanjutnya detritivora dan herbivor yang terbanyak. Tapi pada era pakan
buatan atau akuakultur intensif produksi nasional Indonesia menjadi
piramida terbalik. Ikan-ikan yang diproduksi dengan mengkonsumsi pellet
66 persen sementara yang berbasis pakan alami 34 persen, ujar Enang.
Aquakultur intensif yang dicirikan adanya pergantian air, peningkatan
oksigen dan pemberian pakan buatan (pellet) merupakan bentuk pemaksaan
alam. Pemaksaaan ini bisa mencapai 67.000 kali lipat dari proses alamiah
dan konsekuensinya menimbulkan tumbukan limbah tak terurai. Limbah ini
kemudian menjadi racun yang mematikan ikan budidaya. Kematian ikan masal
secara tiba-tiba pada tambak salah satunya diakibatkan akuakultur
intensif. Prinsip akuakultur berbasis tropic level yakni memanfaatkan
semua nutrien limbah budidaya ikan utama yang jumlahnya lebih besar
daripada yang diretensi jadi daging. Limbah ini dimanfaatkan untuk
budidaya rumput laut, kerang-kerangan, tiram, teripang, detritivora,
herbivora dan omnivora, jelas Pria kelahiran Sumedang, 21 Agustus 1949.
Akuakultur berbasis tropic level akan menghasilkan komoditas utama ikan
budidaya dan komoditas sampingan yang jumlahnya lebih besar dengan
biaya murah. Disamping itu menghasilkan rendemen limbah yang rendah
sebab semua limbah termanfaatkan dan ramah lingkungan. Menurut Bapak
dari tiga anak ini negara Cina telah menerapkan konsep akuakultur
tropical level sebelum penanggalan Masehi. Katanya, dengan dicirikannya 4
hal pokok :Pertama akuakultur Cina berbasis kesuburan telah matang
sebelum era budidaya berbasis pellet datang, Kedua pengembangan
akuakultur harus seperti pengembangan produksi ternak, Ketiga setiap
penambahan produksi berbasis pellet diimbangi dengan pembesaran yang
lebih lagi pada dasar piramida, dan keempat pendekatan pengembangan
akuakultur dilakukan secara holistik. Sepulang training di Cina tahun
2001 sampai sekarang saya konsisten dan akan terus menyuarakan serta
melaksanakan semampu saya teknologi berbasis tropic levelâ dengan
harapan bermanfaat bagi kebangkitan akuakultur Indonesia, kata
Koordinator Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Indonesia ini.
Basis Budaya dan Sosial-Ekonomi, diantaranya
Perikanan Tangkap
Mulai dari ‘menangkap ikan’ untuk subsisten. Perkembangan teknologi armada dan alat
tangkap akan mempengaruhi
- Keterbatasan hasil tangkapan
- Keterbatasan sumberdaya perairan
- Keterbatasan sumberdaya ikan
- Keterbatasan distribusi hasil tangkapan
Basis Biologi dan Teknologi, diantaranya
Akuakultur : Secara ekonomis, relatif efisien untuk memproduksi bahan pangan berprotein dibanding dengan peternakan, jika jenis dan teknik budidaya diterapkan dengan tepat.
- Kebutuhan energi hewan poikiloterm (ikan) > rendah
- Kehilangan energi minimal (à massa air)
- Kebutuhan energi hewan berdarah dingin utk thermo-regulasi, rendah
à Laju pertumbuhan lebih cepat
à Produksi per unit area lebih tinggi
à Energi untuk mendapatkan makanan, kecil àfilter-feeder sessile (e.g. kerang dan rajungan)
à ‘Food conversion ratio’ untuk ikan lebih baik (1:1 – 1:1,25)
à Ikan lebih baik dalam memanfaatkan protein yang terkandung dalam pakan
Sejatinya
perikanan merupakan suatu sistem bisnis yang terdiri dari tiga
subsistem (komponen) Utama, yakni produksi, penanganan dan pengolahan
(handling and processing), serta pemasaran. Pada subsistem produksi,
kita bisa menghasilkan produk primer perikanan (ikan, udang,
kerang-kerangan, echinodermata, dan biota perairan lainnya) melalui dua
cara, yaitu penangkapan (perikanan tangkap, capture fisheries) dan
pembudidayaan (perikanan budidaya, aquaculture). Oleh sebab itu, kalau
kita ingin sukses dalam membangun perikanan nasional, maka kita harus
mengelola pembangunan perikanan atas dasar pendekatan bisnis perikanan
terpadu. Sosok perikanan Indonesia yang berhasil adalah yang mampu
memberikan keuntungan (kesejahteraan) bagi seluruh pelaku usaha
(terutama nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil perikanan, dan
pedagang), memenuhi kebutuhan ikan dan produk perikanan nasional,
menghasilkan devisa signifikan, serta menghadirkan pertumbuhan ekonomi
tinggi (di atas 7% per tahun) secara berkelanjutan (on a sustainable basis).
Dalam
praktiknya, pendekatan bisnis perikanan terpadu berarti memastikan,
bahwa banyaknya (volume) setiap jenis ikan dan produk perikanan yang
diproduksi (melalui perikanan tangkap maupun perikanan budidaya) harus
sesuai (matching) dengan jumlah kebutuhan dan selera (preference)
pasar (konsumen), baik pasar lokal, nasional, maupun ekspor. Dengan
demikian, dari perspektif bisnis, tugas kita di subsistem pemasaran
adalah bagaimana agar masyarakat Indonesia dan dunia mengkonsumsi,
menggunakan, dan membeli ikan dan produk perikanan sebanyak mungkin
dengan harga yang menguntungkan para produsen.
Sementara itu, tugas subsistem penanganan dan pengolahan (pasca panen) adalah untuk menjamin, bahwa kualitas, keamanan (safety), rasa (taste), bentuk sajian, dan kemasan (packaging)
ikan dan produk perikanan memenuhi segenap persyaratan dan selera
konsumen (pasar). Pada subsistem inilah, proses peningkatan nilai tambah
terhadap ikan dan produk perikanan berlangsung.
Bahkan,
mengacu pada UU N0.31/2004 tentang Perikanan, proses penciptaan nilai
tambah dalam sektor perikanan juga bisa ditempuh dengan menerapkan
bioteknologi. Yakni dengan cara mengekstraksi senyawa aktif (bioactive substances) atau produk alamiah (natural products)
dari biota perairan, kemudian memprosesnya menjadi ratusan produk
industri makanan dan minuman, obat-obatan (farmasi), kosmetik, cat,
film, bioenergi, kertas, dan lainnya.
Selama
ini, cara-cara kita mengelola pembangunan perikanan, baik di daerah
maupun di tingkat pusat, pada umumnya bersifat parsial dan
terpilah-pilah. Acap kali kita hanya terfokus menggenjot produksi,
tetapi lupa mengembangkan pasarnya, dan sebaliknya.
Dengan demikian, para nelayan dan pembudidaya ikan Indonesia sampai sekarang masih sering tertimpa dilema market glut.
Suatu keadaan, dimana kalau tidak ada atau sedikit ikan (musim paceklik
atau bukan musim panen) harga ikan tinggi (bagus), tetapi begitu musim
penangkapan atau panen ikan, harganya turun drastis.
Penyakit
kronis ini secara sistematis sudah mulai disembuhkan oleh DKP sejak
awal 2002 antara lain melalui program utamanya berupa penguatan dan
pengembangan pelabuhan perikanan sebagai pusat bisnis perikanan terpadu,
pembangunan pasar ikan higienis, serta match making (mempertemukan) para produsen (nelayan dan pembudidaya ikan) dan para pembeli baik nasional maupun asing.
Dalam
hal penanganan dan pengolahan hasil (industri pasca panen), kita pun
tertinggal dibanding Thailand, Malaysia, dan Singapura. Ikan dan produk
perikanan Thailand lebih menguasai pasar Jepang, AS, dan Uni Eropa.
Karenanya wajar, meskipun saat ini total volume produksi perikanan
Thailand (urutan-12 dunia) jauh lebih kecil ketimbang Indonesia
(urutan-5), namun nilai ekspor perikanan Thailand (US$ 3,9 miliar) jauh
melampui Indonesia yang hanya US$ 2,1 miliar.
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AKUAKULTUR
1. SEJARAH AKUAKULTUR
Menurut
naskah Cina kuno dari abad ke-5 SM menunjukkan bahwa budidaya telah
dilakukan di Cina. Meskipun bukan sesuatu yang sangat mendatangkan
keuntungan. Hieroglif Mesir menunjukkan Mesir dari Kerajaan Tengah
(2052-1786 SM) berusaha membudidaya ikan secara intensif. Mengikuti
jejak Mesir, Roma juga mengembangkan praktek akuakultur. Mereka
diketahui telah membudidayakan kerang oysters. Budidaya yang ditetapkan
oleh Roma adalah bentuk pertama dari akuakultur yang terus berkembang ke
dalam beberapa bentuk atau lainnya yang lebih modern .
Semua
bentuk awal budidaya sangat berbeda dengan sebagian besar budidaya
yang dilakukan saat ini. Perbedaan utamanya adalah bahwa perikanan
budidaya di zaman kuno, ikan yang dipelihara adalah ikan kecil yang
diambil dari perairan. Tidak ada pembenihan. ikan terus dibiarkan
bertumbuh dengan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk petumbuhannya.
Ikan mas, di Cina, ribuan tahun yang lalu dikumpulkan pada usia remaja
dan dipindahkan ke kolam khusus tempat mereka tumbuh. Orang Mesir dan
Roma membuktikan praktek ini tidak terbatas pada ikan mas tetapi
digunakan dengan jenis lain seperti kerang dan makhluk lain lain yang
mampu bertahan bila dipindahkan ke kolam budaya.
Budidaya
ikan dalam bentuk modern pertama kali diperkenalkan pada tahun 1733
ketika seorang petani Jerman berhasil mengumpulkan telur ikan, dibuahi,
dan kemudian tumbuh dan memelihara ikan yang menetas. Untuk melakukan
hal ini, jantan dan betina ikan trout disatukan dalam satu tempat
ketika siap untuk pemijahan. Telur dan sperma dikeluarkan dari tubuh
mereka dan dimasukkan dalam tempat yang kondisinya menguntungkan. Benih
dibawa ke tank atau kolam di mana mereka dibudidayakan. Awalnya ini
budidaya ikan terbatas pada ikan air tawar. Pada abad ke-20
teknik-teknik yang baru telah dikembangkan dan berhasil mengembang
biakan spesies laut.
Sebagian
ilmuwan telah mempelajari lebih lanjut tentang siklus kehidupan ikan
budidaya dan rangsangan yang mendorong pengembangannya, petani ikan
terus mengembangkan teknik mereka untuk mendapatkan kontrol lebih besar
atas pembangunan perikanan tersebut. faktor-faktor yang penting bagi
petani ikan tujuan komersial adalah stimulus yang mendorong pertumbuhan,
pematangan seksual, dan reproduksi. kemajuan terbaru lainnya termasuk
pengendalian penyakit dan imunologi. Untuk sebagian besar sejarah modern
akuakultur, hanya ikan-ikan mewah seperti salmon dan udang. Namun pada
saat ini budidaya telah memungkinkan untuk berbagai ikan dengan
mempertimbangkan biaya budidaya yang efektif dan efisien.
2. PERKEMBANGAN AKUAKULTUR
Akuakultur
merupakan kegiatan pemeliharaan hewan pada air tawar, payau dan air
laut, adalah salah satu kegiatan yang mendorong kemajuan ekonomi Amerika
Serikat. Secara umum produksi budidaya
ikan dan karang telah berkembang dengan sangat cepat sejak tahun 1992.
Masyarakat Amerika yakin bahwa akuakutur akan mengurangi tekanan
terhadap perikanan samudra.
Agrikultur sejak tahun 1987 mengalami peningkatan penjualan sebanyak tiga kali lipat hingga tahun 1992. Berdasarkan data terakhir pada sensus pada tahun 1998, industri akuakultur di amerika serikat mencapai hampir 1 milyar USD (agalternative.aers.psu.edu).
Produksi domestik akuakultur juga memperlihatkan adanya peningkatan (Harvey, 2003). Perkembangan Akuakultur diharapkan dapat menyediakan berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan. Selain untuk pemenuhan makanan hasil laut, produk akuakultur juga dapat bersaing dengan produk impor. Di Louisiana, bisnis akuakultur dari produksi hasil laut melibatkan ratusan produsen dan mendukung keterlibatan pihak lain seperti transportasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi, Produksi makanan dan umpan dari akauakultur juga merupakan penyedia keuntungan ekonomi yang subtansif bagi masyarakat pedesaan di Louisiana (BMPS, 2003). Produk akuakultur dapat di pasarkan oleh petani melalui penjualan eceran, petani pasar, pos, supermarket, order perusahaan dan melalui perantara penjualan. Beberapa produsen berkembang juga menjual produknya melalui warung makan bahkan internet. Pembuatan kolam pemancingan juga merupakan kesempatan investasi yang sempurna di Amerika Serikat, pembayaran biaya pemancingan dengan cepat melampui kemampuan pemilik usaha untuk menyediakan ikan sehingga harus disuplai dari kegiatan akuakultur.
Sekarang di Amerika Serikat , produksi akuakultur untuk spesies air tawar perkembangannya jauh lebih cepat bila di bandingkan dengan produksi marine kultur.
Agrikultur sejak tahun 1987 mengalami peningkatan penjualan sebanyak tiga kali lipat hingga tahun 1992. Berdasarkan data terakhir pada sensus pada tahun 1998, industri akuakultur di amerika serikat mencapai hampir 1 milyar USD (agalternative.aers.psu.edu).
Produksi domestik akuakultur juga memperlihatkan adanya peningkatan (Harvey, 2003). Perkembangan Akuakultur diharapkan dapat menyediakan berbagai jenis ikan dan kerang-kerangan. Selain untuk pemenuhan makanan hasil laut, produk akuakultur juga dapat bersaing dengan produk impor. Di Louisiana, bisnis akuakultur dari produksi hasil laut melibatkan ratusan produsen dan mendukung keterlibatan pihak lain seperti transportasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi, Produksi makanan dan umpan dari akauakultur juga merupakan penyedia keuntungan ekonomi yang subtansif bagi masyarakat pedesaan di Louisiana (BMPS, 2003). Produk akuakultur dapat di pasarkan oleh petani melalui penjualan eceran, petani pasar, pos, supermarket, order perusahaan dan melalui perantara penjualan. Beberapa produsen berkembang juga menjual produknya melalui warung makan bahkan internet. Pembuatan kolam pemancingan juga merupakan kesempatan investasi yang sempurna di Amerika Serikat, pembayaran biaya pemancingan dengan cepat melampui kemampuan pemilik usaha untuk menyediakan ikan sehingga harus disuplai dari kegiatan akuakultur.
Sekarang di Amerika Serikat , produksi akuakultur untuk spesies air tawar perkembangannya jauh lebih cepat bila di bandingkan dengan produksi marine kultur.
Akuakultur
saat ini menjadi kegiatan ekonomi yang penting dan saat ini menghadapi
kendala yang penting yang mampu menimbulkan kerugian ekonomis yang
besar, permasalahan itu adalah penyakit yang disebabkan bakteri
pathogen. Di awal perkembangan akuakultur upaya yang dilakukan adalah
menggunakan antibiotik sebagai upaya kemoterapi untuk menghilangkan
penyakit. Hal ini dipraktekkan secara intensif di awal-awal perkembangan
akuakultur bahkan penggunaannya berlebihan. Peningkatan penggunaan
antibiotik pada akuakultur malah diikuti oleh bertambahnya penyakit
patogenik dan seringkali hal ini sekarang dikaitkan dengan meningkatnya
resistensi bakteri patogen terhadap bahan kimia (antibiotik).
Kekhawatiran pun muncul dari aplikasi antibiotik pada ikan konsumsi
terhadap manusia. Dari berbagai sumber ilmiah disimpulkan bahwa
penggunaan antibiotik (seperti Quinolone, Tetracycline dll.) menyebabkan
mutasi kromosom pathogen atau akuisisi plasmid.Berbagai solusi
diupayakan antara lain vaksinasi, teknologi budidaya yang lebih baik,
code of practices, best management practices dan lain sebagainya,
tentunya membawa dampak positif pada perkembangan akuakultur. Penggunaan
probiotik yang bekerja melalui mekanisme tertentu untuk melawan
pathogen, saat ini dipandang sebagai langkah alternatif. Beberapa tahun
terakhir probiotik yang sudah biasa digunakan pada manusia dan binatang
mulai diaplikasikan kepada bidang akuakultur (Gatesoupe, 1999; Gomez-Gil
et al., 2000; Verschuere et al., 2000; Irianto and Austin, 2002;
Bache`re, 2003).Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan secara
singkat prinsip dan mekanisme kerja probiotik.Istilah probiotik
ditujukan terhadap bakteri yang mendukung kesehatan organisme lain.
Probiotik sendiri dapat ditemukan di alam, diisolasi dan diidentifikasi
serta diteliti sifat antagonistik terhadap pathogen secara in vitro. Ada
beberapa mekanisme aksi terhadap bakteri pathogen yang dapat dijelaskan
antara lain kompetisi eksklusif terhadap bakteri pathogen (contoh:
Pseudomonas I2 terhadap beberapa vibrio pathogen udang) , sebagai sumber
nutrien dan kontribusi enzim pada pencernaan ikan (contoh: Clostridium
sp.), penyerapan material organik yang dimediasi oleh probiotik, serta
meningkatnya immunitas ikan terhadap pathogen. Beberapa kandidat
probiotik menunjukkan efek antivirus walaupun mekanisme kerja probiotik
ini belum jelas akan tetapi eksperimen lab menunjukkan bahwa inaktivasi
virus dapat dimediasi oleh substansi kimiawi dan biologis yang diekstrak
dari algae maupun extra celullar agent dari bakteri. Beberapa strain
Pseudomonas sp., Vibrio sp. dan Aeromonas sp. yang diisolasi dari
hatchery salmon menunjukkan aktivitas antiviral terhadap virus IHNV dari
salmon (Kamei, et. al. 1988). Sangat penting untuk mengetahui mekanisme
kerja probiotik dalam menentukan kriteria untuk probiotik yang berguna
untuk mencegah berkembangnya pathogen. Studi yang mendalam masih harus
terus dikaji antara lain pengaruh probiotik secara in vivo, pengembangan
teknologi molekular untuk seleksi probiotik dan juga untuk lebih
memahami kinerja, komposisi dan fungsi dari probiotik
Budidaya/aquakultur
yang berlokasi di daerah pesisir sangat berhubungan dengan kondisi tata
ruang, sosial budaya, keamanan dan ekonomi masyarakat pesisir tersebut.
Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah pedu digarap secara
terintegrasi. Pada saat itu sudah waktunya untuk melaksanakan pendekatan
dan isu bagi pembangunan budidaya yang lestari dan bertanggungjawab
melihat kenyataan bahwa produksi udang di tanah air menurun drastis
akibat dari kesalahan pengelolaan. Para pengusaha tambak udang mulai
meninggalkan lahannya begitu saja karena menderita rugi terus menerus.
Pemahaman
terhadap budidaya yang berkelanjutan perlu dikumandangkan di berbagai
pihak, pemerintah perlu menetapkan tindakan tindakan pengawasan terhadap
pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkenaan dengan
pengelolaan kawasan pesisir. Pendekatan yang seimbang dan terinformasi
dapat dilakukan untuk memusatkan isu-isu perhatian terhadap konsep
pembangunan budidaya yang berwawasan lingkunagn dan bertanggungjawab.
Penyiapan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan budidaya
berkelanjutan adalah merupakan tangungjawab bersama, baik pemerintah
berikut lembaga-lembaganya, para ilmuwan sosisl dan pengetahuan alam.
Media massa, lembaga keuangan, kelompok kepentingan khusus termasuk
asosiasi sosial dan sektor swasta produsen budidaya, pabrik serta
penyedia masukan, pengolah dan pedagang akuakultur.
C. PENGEMBANGAN AKUAKULTUR INDONESIA
Pada
abad 21 ini Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa
Perikanan Budidaya (Akuakultur) menjadi salah satu sektor andalan untuk
pemenuhan kebutuhan protein hewani dan penciptaan lapangan kerja. Data
statistik FAO tahun 2008 menunjukkan bahwa produksi akuakultur sudah
mencapai 47% dari total produksi perikanan dunia, bahkan pada tahun 2030
diperkirakan lebih dari setengah ikan yang dikonsumsi oleh manusia di
dunia akan disediakan oleh industri akuakultur. FAO juga menyatakan
bahwa sebagai sumber protein hewani yang bernutrisi tinggi, akuakultur
telah memiliki peran yang sangat penting dalam memperbaiki keamanan
pangan, meningkatkan standar nutrisi, dan mengentaskan kemiskinan.
Indonesia memiliki potensi SDA di bidang perikanan budidaya yang besar
yang merupakan keunggulan komparitif dibanding negara lainnya. Selain
itu, sebagai negara tropis yang dapat berproduksi sepanjang tahun,
Indonesia juga memiliki ribuan jenis biota akuatik berupa ikan, udang,
kerang, rumput laut dan sebagainya dengan karakter masing-masing yang
khas. Karakteristik produk kegiatan akuakultur dapat berupa ikan
konsumsi, bahan baku industri, dan ikan hias (ornamental fishes).
Selanjutnya
FAO menyatakan bahwa salah satu tantangan perkembangan akuakultur
adalah meningkatkan produksi ikan melalui kegiatan budidaya untuk
menggantikan penurunan produksi perikanan tangkap. Upaya ini mememiliki
kendala ilmu pengetahuan (knowledge constraint) yang merupakan
tantangan yang harus dihadapi oleh Departemen Budidaya Perairan (BDP).
Selain harus menghasilkan SDM, departemen BDP juga harus menghasilkan
iptek untuk memecahkan masalah tertsebut. Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor
(IPB), memiliki mandat mengembangkan ilmu, teknologi dan manajemen
perikanan budidaya air tawar, payau dan laut; mencakup ikan, tumbuhan
air dan organisme air lainnya (biota akuatik) yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan. Dengan demikian Departemen BDP merupakan departemen
yang kompeten dan bertanggung jawab terhadap perkembangan teknologi dan
pengembangan SDM di bidang perikanan budidaya di Indonesia. Dalam
mengimplementasikan mandat dan tugas yang diembannya, di bidang
pendidikan Departemen BDP merancang program pendidikan baik untuk
program sarjana (S1) maupun pasca sarjana (S2/S3) yang dapat
menghasilkan lulusan yang mampu memecahkan permasalahan akuakultur
sesuai dengan tuntutan jaman. Selain itu, departemen juga memiliki
perhatian yang serius untuk berperan aktif dalam mengakselerasi
pembangunan dan pengembangan bidang Perikanan Budidaya bersama stake
holder (swasta, instansi pemerintah dan perguruan tinggi) secara
sinergis. Hal ini juga secara langsung merupakan wahana yang baik dalam
mengekspresikan profesionalisme para staf dengan keahlian yang
dimilikinya. Ruang lingkup pengembangan ilmu dan teknologi akuakultur
tersebut meliputi 5 laboratorium/bagian yaitu: a) Bagian Teknik Produksi
dan Manajemen Akuakultur, b). Bagian Reproduksi dan Genetika Organisme
Akuatik, c) Bagian Nutrisi Ikan, d) Bagian Kesehatan Organisme Akuatik,
e) Bagian Lingkungan Akuakultur.
Dalam
memacu perkembangan akuakultur di Indonesia maka salah satu upaya yang
dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Budidaya bekerjasama dengan UPT
Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan adalah dengan mengadakan kegiatan
Meningkatnya
pertumbuhan populasi penduduk dunia dewasa ini telah menyebabkan
meningkatnya konsumsi ikan oleh masyarakat dunia (termasuk Indonesia).
Data tahun 2007 menunjukkan bahwa konsumsi ikan penduduk Indonesia
rata-rata 26 kg/kapita/tahun. Dewasa ini akuakultur merupakan sektor
penghasil pangan yang tercepat pertumbuhannya di dunia, dengan laju
pertumbuhan sekitar 11% per tahun. Indonesia memiliki potensi untuk
pengembangan usaha akuakultur, baik air tawar, air payau maupun laut
yang sampai saat ini pemanfaatan potensi tersebut masih kecil. Bila
potensi ini dapat dimanfaat secara optimal maka akuakultur akan dapat
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi andalan bagi bangsa Indonesia. Untuk
itu pemerintah terus melakukan upaya-upaya yang memacu perkembangan
usaha akuakultur, antara lain melalui pengembangan teknologi akuakultur
tepat guna, pengembangan sistem usaha akuakultur serta penerapan
peraturan dan kebijakan yang mendukung pengembangan akuakultur. Agar
pembangunan akuakultur yang berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan
dapat diwujudkan maka harus didukung oleh berbagai pihak dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut.
Dalam
memacu perkembangan akuakultur di Indonesia maka salah satu upaya yang
dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Budidaya bekerjasama dengan UPT
Riset Perikanan Budidaya, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan adalah dengan mengadakan kegiatan.
Kegiatan
ini merupakan media untuk menyampaikan hasil pengembangan teknologi
akuakultur tepat guna kepada para pengguna/pembudidaya serta membangun
komunikasi antara penghasil teknologi dan pelaku usaha akuakultur di
Indonesia.
Masa Depan Budidaya
Akuakultur
akan terus menjadi salah satu metode yang paling layak untuk memenuhi
kebutuhan pertumbuhan populasi dunia, namun tantangan untuk
mempertahankan profitabilitas dan keserasian lingkungan yang menakutkan.
Pertumbuhan budidaya telah didorong oleh pemerintah bersemangat awalnya
hanya untuk keberhasilan ekonomi, tetapi banyak pemerintah sudah mulai
menerapkan pedoman peraturan ketat menangani isu-isu lingkungan dan
sosial untuk menjamin keberlanjutan. Di Amerika Serikat, perikanan
budidaya berada di bawah pengawasan dekat dari Badan Perlindungan
Lingkungan, Food and Drug Administration, National Layanan Kelautan
Perikanan, Amerika Serikat Departemen Pertanian dan instansi pemerintah
berbagai lingkungan dan kelompok-kelompok lokal. Kanada juga telah
mengembangkan pedoman yang ketat untuk menjaga kesehatan lingkungan, dan
Brazil, Malaysia, Sri Lanka dan orang lain memiliki semua membuat
kemajuan dalam pembentukan kerangka hukum dan peraturan yang mulai
memiliki dampak positif pada pengembangan akuakultur.
Meskipun
kemajuan seperti itu, masih ada negara-negara produsen utama perikanan
budidaya yang tidak memiliki kerangka kerja hukum dan kebijakan yang
tepat untuk budidaya. Semua untuk, pemerintah sering gagal memberikan
dukungan ekonomi, hukum, dan sosial yang dibutuhkan untuk menjamin
keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Dimana pemerintah pada awalnya
bagian integral pembangunan, kontraksi keterlibatan pemerintah sekarang
lazim, sehingga privatisasi meningkat dan konflik sosial yang sesuai.
Sementara isu-isu sosial yang terkenal keras, masalah kualitas air
tidak. Teknologi baru seperti sistem sirkulasi dan lepas pantai
menjanjikan untuk mengurangi dampak dari akuakultur terhadap lingkungan
sekitarnya, tetapi banyak negara tidak dapat mengambil keuntungan dari
inovasi ini mahal. Teknologi saja tidak dapat menentukan pendekatan
untuk kesinambungan, pengembangan akuakultur harus beradaptasi dengan
kebutuhan dan kapasitas negara-negara berkembang. Secara politis,
produksi pangan akan tetap menjadi prioritas utama, dan akuakultur akan
terus tumbuh. Model harus dikembangkan dengan jelas memprediksi apakah
manfaat sosial-ekonomi perikanan budidaya yang sepadan dengan biaya
lingkungan.
D. NUTRISI DAN PAKAN IKAN
NUTRISI
Sumber
nutrisi (zat gizi) umumnya diklasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu: protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Untuk menunjang
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, membutuhkan nutrisi yang secara
kualitatif maupun kuantitatif memenuhi persyaratan sesuai dengan
kebutuhan udang tersebut. Zat-zat tersebut harus berada dalam makanan
yang secara fisiologis berfungsi sebagai sumber zat pengatur
kelangsungan hidup.
A.PROTEIN
Sekitar
50% dari kebutuhan kalori yang diperlukan oleh ikan berasal dari
protein. Bahan ini berfungsi ini untuk membangun otot, sel-sel dan
jaringan tubuh. Pada umumnya kebutuhan ikan terhadap protein dapat
digolongkan secara garis besar sebagai berikut : 15-30% dari total pakan
bagi ikan-ikan herbivora, 45% bagi ikan karnivora, sedangkan untuk
ikan-ikan muda diperlukan diet dengan kandungan protein 50%.
B.LEMAK
Lemak
merupakan sumber utama energi bagi ikan. Lemak berfungsi untuk menjaga
stamina dan sebagai media penyimpanan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak, seperti vitamin A,D,E dan K. ikan karnivora kebutuhan lemaknya
tidak lebih dari 8%. Sedangkan ikan herbivore kebutuhannya tidak lebih
dari 3%.
C.KARBOHIDRAT
Karbohidrat
diperlukan untuk pertumbuhan dan energi. Ikan tidak memerlukan
karbohidrat dalam jumlah yang besar dalam makanannya. Kelebihan
karbohidrat diketahui dapat menghambat pertumbuhan ikan.
D.MINERAL
Mineral
pada ikan diperlukan untuk menjaga kesehatan tulang, gigi dan bahan
sisik. Mineral utama yang diperlukan ialah kalsium dan fosfor. Selain
itu mereka juga memerlukan besi, iodine, magnesium, natrium, kalium,
tembaga dan seng.
E.SERAT
Serat
relative banyak dijumpai pada sayuran. Ikan karnivora tidak dianjurkan
pemberian serat yang terlalu banyak dan direkomendasikan kandungannya
tidak lebih dari 4%. Sedangkan ikan herbivore dianjurkan untuk
memberikan serat dengan kadar 5-10%.
F.VITAMIN
Vitamin E dan A merupakan faktor penting untuk menjaga ikan dalam kondisi prima untuk memijah.
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan pertumbuhan ikan dapat menjadi terhambat dan dapat terjadi tulang punggung melengkung.
PAKAN
Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk
dalam kegiatan pembenihannya. Oleh karenanya, akhir-akhir ini aspek
nutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan juga usahawan.
Berkaitan dengan pakan maka dihadapkan pada masalah-masalah:
kuantitatif, kualitatif, kontinuitas dan keseimbanganzat pakan yang
terkandung di dalamnya.
Dalam
membuat pakan buatan untuk ikan, harus dipertimbangkan beberapa faktor
bahan baku untuk pakan, yaitu ketersediaan, harga yang wajar dan
kandungan gizi yang cukup.
Pakan ikan buatan yang diberikan dapat dikategorikan menjadi :
1. Pakan alami,
merupakan kelompok pakan yang berasal dari hewan yang berukuran renik
sampai ukuran beberapa centimeter yang di kultur atau dikumpulkan dari
alam; contohnya adalah Artemia, Daphnia dan Cacing Sutra. Pakan alami
ini dapat juga berasal dari tumbuhan, misalnya fitoplankton dan daun
talas.
2. Pakan lembek,
merupakan cincangan ikan-ikan rucah dan cumi-cumi yang langsung
diberikan kepada ikan. Daya tahan pakan lembek ini 2 – 3 hari dalam
lemari pendingin.
3. Pakan kering lengkap,
merupakan pakan berbentuk pelet, “flake” dan “crumble” dengan kadar air
rendah sehingga daya tahannya bisa 3 – 4 bulan dan kandungan gizinya
cukup lengkap karena dibuat sesuai dengan kebutuhan. Jenis pakan inilah
yang akan dikupas lebih mendalam. Bahan baku pembuatan pakan ikan dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu bahan baku nabati dan bahan baku hewani.
Bahan Baku Nabati
Dari
sekian banyak bahan baku nabati, 70 – 75% merupakan biji-bijian dan
hasil olahannya, 15 – 25% limbah industri makanan, dan sisanya hijauan
sebagaimana layaknya bahan pakan yang berasal dari biji-bijian, bahan
pakan nabati ini sebagian besar merupakan sumber energi yang baik,
tetapi karena asalnya dari tumbuhan, kadar serat kasarnya tinggi.
Sebagai sumber vitamin, beberapa bahan berbentuk bijian atau lahannya
tidaklah mengecewakan.
1. Jagung kuning
Selain
jagung kuning, masih ada 2 warna lagi, pada jagung (Zea mays), yaitu
jagung putih dan jagung merah. Diantara ketiga warna itu, jagung merah
dan jagung putih jarang terlihat di Indonesia. Jagung kuning merupakan
bahan baku ternak dan ikan yang populer digunakan di Indonesia dan di
beberapa negara. Jagung kuning digunakan sebagai bahan baku penghasil
energi, tetapi bukan sebagai bahan sumber protein, karena kadar protein
yang rendah (8,9%), bahkan defisien terhadap asam amino penting,
terutama lysin dan triptofan.
Kandungan nutrisi jagung :
- Bahan kering : 75 – 90 %
- Serat kasar : 2,0 %
- Protein kasar : 8,9 %
- Lemak kasar : 3,5 %
- Energi gross : 3918 Kkal/kg
- Niacin : 26,3 mg/kg
- TDN : 82 %
- Calcium : 0,02 %
- Fosfor : 3000 IU/kg
- Asam Pantotenat : 3,9 mg/kg
- Riboflavin : 1,3 mg/kg
- Tiamin : 3,6 mg/kg
Sebagai
sumber energi yang rendah serat kasarnya, sumber Xantophyll, dan asam
lemak yang baik, jagung kuning tidak diragukan lagi. Asam linoleat
jagung kuning sebesar 1,6%, tertinggi diantara kelompok biji-bijian.
2. Dedak halus
Dedak
merupakan limbah proses pengolahan gabah, dan tidak dikonsumsi manusia,
sehingga tidak bersaing dalam penggunaannya. Dedak mengandung bagian
luar beras yang tidak terbawa, tetapi tercampur pula dengan bagian
penutup beras itu. Hal ini mempengaruhi tinggi-rendahnya kandungan serat
kasar dedak.
Kandungan nutrisi dedak :
- Bahan kering : 91,0 %
- Protein kasar : 13,5 %
- Lemak kasar : 0,6 %
- Serat kasar : 13.0 %
- Energi metabolis : 1890,0 kal/kg
- Calcium : 0,1 %
- Total Fosfor : 1,7 %
- Asam Pantotenat : 22,0 mg/kg
- Riboflavin : 3,0 mg/kg
- Tiamin : 22,8 mg/kg
Kandungan
serat kasar dedak 13,6%, atau 6 kali lebih besar dari pada jagung
kuning, merupakan pembatas, sehingga dedak tidak dapat digunakan
berlebihan. Kandungan asam amino dedak, walaupun lengkap tapi
kuantitasnya tidak mencukupi kebutuhan ikan, demikian pula dengan
vitamin dan mineralnya
3. Bungkil Kacang Kedelai
Selain
sebagai bahan pembuat tempe dan tahu, kacang kedele mentah mengandung
“penghambat trypsin” yang harus dihilangkan oleh pemanasan atau metoda
lain, sedangkan bungkil kacang kedelai, merupakan limbah dari proses
pembuatan minyak kedelai.
Kandungan nutrisi bungkil kacang kedelai :
- Protein kasar : 42 – 50 %
- Energi metabolis : 2825 - 2890 Kkal/kg
- Serat kasar : 6 %
Yang menjadi faktor pembatas pada penggunaan kedelai ini adalah asam amino metionin.
4. Bungkil Kacang Tanah
4. Bungkil Kacang Tanah
Merupakan
limbah dari pengolahan minyak kacang atau olahan lainnya. Kualitas
bungkil kacang tanah ini tergantung pada proses pengolahan kacang tanah
menjadi minyak. Disamping itu, proses pemanasan selama pengolahan
berlangsung, juga menentukan kualitas bungkil ini, selain dari kualitas
tanah, pengolahan tanah dan varietas kacang itu sendiri.
Kandungan nutrisi bungkil kacang tanah :
- Bahan kering : 91,5 %
- Protein kasar : 47,0 %
- Lemak kasar : 1,2 %
- Serat kasar : 13,1 %
- Energi metabolis : 2200 Kal/kg
Kadar metionin, triptofan, treonin dan lysin bungkil kacang tanah juga mudah tercemar oleh jamur beracun Aspergillus flavus.
5. Minyak Nabati
Penggunaan
minyak diperlukan pada pembuatan pakan ikan yang membutuhkan pasokan
energi tinggi, yang hanya dapat diperoleh dari minyak. Minyak nabati
yang digunakan hendaknya minyak nabati yang baik, tidak mudah tengik dan
tidak mudah rusak. Penggunaan minyak nabati yang biasanya berasal dari
kelapa atau sawit pada umumnya berkisar antara 2 – 6 %.
6. Hijauan
Sebagai
bahan campuran pakan, kini hijauan mulai dilirik kembali, karena
ternyata sampai batasan tertentu hijauan dengan protein tinggi dapat
mensubstitusi tepung ikan. Hijauan yang dimaksud antara lain azola, turi
dan daun talas, yang bila akan digunakan harus diolah terlebih dahulu,
yakni pengeringan (oven atau panas matahari) tapi tidak boleh merusak
warna, lalu penggilingan dan pengayakan.
Bahan Baku Hewani
1. Fish meal (ikan rucah)
Umumnya merupakan ikan rucah (ikan kecil-kecil yang ikut tertangkap oleh nelayan) yang kemudian dikeringkan¡
Ikan mengandung lemak /asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah teroksidasi dan mudah tengik¡
Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan sumber asam lemak esensial.¡
Asam lemak esensial bagi ikan laut adalah kelompok n-3 HUFA.¡
2. Tepung Ikan
Bahan
baku tepung ikan adalah jenis ikan rucah (tidak bernilai ekonomis) yang
berkadar lemak rendah dan sisa-sisa hasil pengolahan melalui proses
fermentasi untuk meningkatkan bau khas yang dapat merangsang nafsu makan
ikan. Kandungan gizi: protein=40-70%; lemak=15,38%; abu=26,65%;
serat=1,80%; air=10,72
3. Minyak Ikan
4. Tepung Limbah Udang
(kepala, kulit) protein 44-54%; lemak 5-7%; serat kasar 11-17%
5. Tepung Darah
Bahan:
darah, limbah dari rumah pemotongan ternak. Darah beku yang masih
mentah dimasak, dikeringkan, kemudian digiling menjadi tepung.
Proteinnya sukar dicerna (penggunaannya untuk ikan < 3% dan untuk
udang < 5%)
-Protein: 71,45%
-Lemak: 0,42%
-Karbohidrat:13,12%
-Serat: 7,95%
-Air: 5,19.
6. Cacing Tanah
Mudah dibudidayakan,Biaya produksi rendah,Untuk bahan baku pakan,tepung cacing tanah (mudah diserap)
-Protein: hingga 60%
-Lemak: 7%
-Serat kasar: ~1%
-Mineral (Ca, P, Mg, Na, K, Zn, Mn, Fe)
7. Bekicot
-Protein: 54 -64%
-Lemak: 4%
-Serat kasar: 2-3%
-Mineral (Ca, P)
E. PEMASARAN PRODUK AKUAKULTUR
Industri
akuakultur atau perikanan budidaya saat ini menjadi primadona dunia,
karena selain menjadi penyedia pangan protein asal ikan yang sehat dan
bernilai gizi tinggi, juga sebagai sumber ekonomi yang bernilai tinggi.
Kebutuhan pasar akan produk akuakultur pun meningkat sejalan dengan
turunnya produksi ikan hasil tangkapan dan meningkatnya jumlah populasi
dunia yang mulai sadar pentingnya makan ikan untuk menjaga kesehatan.
Dengan kandungan protein tinggi, juga asam lemak omega tiga, mineral dan
vitamin A dan D, produk perikanan dapat menjadi sumber pangan dengan
kualitas gizi yang baik untuk semua kelompok masyarakat. ”Tingkat
konsumsi ikan Indonesia pada 2006, 2007 dan 2008 berturut-turut adalah
25,62 kg/kap/tahun, 26 kg/kap/tahun dan 28 kg/kap/tahun,” kata Direktur
Pemasaran Dalam Negeri Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) Saadullah
Muhdi. Ikan berkontribusi pada 60% dari kebutuhan protein hewani.
Tantangannya adalah, harga ikan dianggap mahal, banyaknya produk impor,
dan produk substitusi yang lebih murah. Di samping itu, kontinuitas
pasokan ikan juga menjadi kendala tersendiri: pasok ikan laut sangat
tergantung pada cuaca, harga bahan bakar minyak. Untuk pasok ikan
budidaya, harga pakan pabrik menjadi kendala yang lain.
Untuk
pasar domestik, urai Muhdi, produk ikan unggulan terbagi dalam beberapa
target pasar, yakni:untuk konsumsi rumah tangga adalah ikan kembung,
lele, mujair, patin, tongkol, udang dan cumi-cumi. Untuk konsumen besar
seperti Rumah Sakit, Asrama dan Lembaga Pemasyarakatan, ikan yang
potensial dikembangkan adalah bandeng, teri, layur, tongkol, mujair,
kerang dan ikan kembung. Untuk industri olahan, potensi pengembangannya
adalah ikan tuna, udang, kakap, sardin, nila dan rumput laut. Untuk
pasar institusional seperti hotel, restoran dan Katering, potensi ikan
yang dikembangkan yakni lobster, ikan malas, cumi-cumi, udang, baronang,
dan kerapu. Adapun untuk warung tenda, ikan yang bisa digenjot
produksinya yakni lele, mujair, nila, patin, tongkol, bawal, dan
kembung.
Adapun
untuk potensi pasar ekspor, produk ikan yang diandalkan adalah ikan
patin, tuna, udang dan rumput laut, Direktur Pemasaran Luar Negeri,
Ditjen P2HP DKP Saut Parulian Hutagalung mengatakan, ikan patin atau
Pangasius merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan,
karena selain mempunyai permintaan tinggi di dalam negeri juga
merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar
yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur
Tengah. ”Kami mendorong produk ikan patin dalam negeri sebagai salah
satu andalan untuk pasar ekspor,” kata Hutagalung. Potensi sumberdaya
alam serta lahan cukup besar tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Selain itu, teknologi budidaya dan pengolahan sudah dikuasai oleh
masyarakat.
Daerah
yang memiliki komitmen untuk menjadi sentra produk ikan patin yakni
Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan. Jenis patin yang dikembangkan saat
ini adalah Patin Jambal (Pangasius djambal) dan Patin Siam (Pangasius
hypothalamus), dan yang terbaru adalah Patin Pasupati (Pangasius sp)
yang merupakan hasil persilangan dari pejantan Patin Jambal dan betina
Patin Siam. Patin Pasupati merupakan respon untuk pasar ekspor yang
menginginkan daging patin yang berwarna putih. Varietas ikan baru yang
dikembangkan DKP ini memiliki sejumlah keunggulan yakni daging berwarna
putih, daya tahan lebih tinggi terhadap kondisi lingkungan perairan, dan
fekunditas tinggi (bibit yang dihasilkan lebih banyak).
Untuk
memacu produksi ikan patin sekaligus memperkuat daya saing produk di
pasar global, pemerintah juga telah membuat klaster industri patin
dengan pendekatan manajemen terpadu dari hulu ke hilir. Klaster terdiri
dari tiga zona, yakni zona I (budidaya). Terdapat di dalamnya adalah
kelompok budidaya patin. Zona II adalah koperasi, yang berkewajiban
memonitoring produksi kelompok pembudidaya, mengumpulkan hasil produksi,
dan mengatur transportasi produk ke Zona III, yang dihuni oleh
perusahaan pengolah ikan patin yang bertugas menampung, menangani dan
mengolah ikan patin dalam klaster. Sasaran produksi ikan patin tahun
2009 ini adalah 75.000 ton.
Produk
perikanan andalan lain untuk pasar ekspor adalah udang, yang
produksinya selama periode tahun 2003-2007 mengalami peningkatan sebesar
16,39%,dengan sentra produksi di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Tingginya pertumbuhan
produksi tersebut disebabkan hama penyakit telah dapat dikendalikan,
permintaan pasar sangat besar, dan tidak adanya kuota yang ditetapkan
oleh negara pengimpor udang sehingga peluang ekspornya masih sangat
besar. Pemerintah melalui Departemen Perdagangan bahkan telah menetapkan
komoditas udang pada urutan keenam sebagai komoditas ekspor non migas.
Komoditas udang yang dibudidayakan di Indonesia adalah jenis udang
vaname dan udang windu.
Udang
vaname telah berhasil dibudidayakan dengan menerapkan teknologi
intensif, sedangkan udang windu masih dibudidayakan dengan menggunakan
teknologi sederhana atau tradisional. Pengembangan udang windu sangat
penting karena merupakan udang asli Indonesia, pertumbuhannya cepat dan
dapat mencapai ukuran yang besar serta bila dimasak warnanya berubah
menjadi berwarna merah cerah sehingga mampu menumbuhkan selera konsumen.
Udang windu dapat mencapai ukuran relatif besar dan ideal untuk diolah
menjadi tempura, sehingga permintaan pasar Jepang terhadap udang ini
sangat besar. Baru-baru ini udang windu mendapat perhatian khusus dari
konsumen di Eropa sebagai udang ekstensif yang kualitasnya mendekati
udang organik.
Oleh
karena itu, pengembangan budidaya udang windu menjadi sangat penting
meskipun penerapannya dengan teknologi sederhana atau ekstensif.
Menghadapi tantangan global, semua pemangku kepentingan bisnis
perudangan mulai dari hatchery, pembudidaya dan pengolah serta eksportir
udang harus bersatu untuk kemajuan kemajuan udang Indonesia di pasar
internasional. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Made Nurjana
mengatakan, pemerintah telah mendorong pelaku hatchery untuk mengakses
sumber induk unggulan dan upaya peningkatan produksi benih, sehingga
kebutuhan benur dapat terpenuhi. “Penggunaan benih unggul ini mampu
meningkatkan produksi 15-20%,”kata Nurjana.
Untuk
meningkatkan kualitas ekspor produk ikan Indonesia, telah didirikan
Seafood Service Center (SSC) di Surabaya Jawa Timur yang memfokuskan
pada produk udang, ikan dan rumput laut. Pimpinan SSC Johan Suryadarma
menjelaskan, lembaganya mendukung program ekspor produk ikan Indonesia
dengan berpijak pada lima pilar, yakni penyediaan informasi pasar
ekspor, persyaratan akses pasar, pembibingan ekspor, pelatihan pemasaran
dan manajemen ekspor, dan diversifikasi produk turunan.
Produk
andalan lainnya adalah rumput laut, yang sangat pantas menjadi
komoditas utama untuk pasar ekspor karena beberapa keunggulannya.
“Keunggulannya yakni peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil,
teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus
pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan,
kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tak tergantikan,
karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut
tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja.
Kegunaan rumput laut sangat luas, dan dekat sekali dengan kehidupan
manusia,” kata Direktur Pengolahan Hasil Perikanan Farid Ma’ruf. Dengan
daerah pantai yang luas, tambahnya, Indonesia merupakan salah satu
penghasil rumput laut terbesar di dunia setelah Cili untuk Gracilaria
sp. dan setelah Filipina untuk Euchema sp., Dua jenis rumput laut
tersebut adalah andalan Indonesia tersebut, yakni Gracilaria sp.
merupakan bahan baku untuk pembuatan agar, sedang Euchema sp. biasa
dikembangkan menjadi karagenan, yang merupakan ingridien pangan untuk
penstabil, pengental, dan pembentuk gel.
Pengurus
Masyarakat Rumput Laut Indonesia yang juga tim peneliti rumput laut
BPPT Jana Tjahjana Anggadireja memperkirakan, kebutuhan dunia pada 2009
untuk karagenan sebesar 74,67 ribu ton. Ia menambahkan, Indonesia
memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900
ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan
seluas 222.180 ha atau 20% dari luas areal potensial. Adapun dalam tahun
2009 ini, sasaran produksi rumput laut adalah 4.389.300 ton. Untuk
menggapai target itu, strategi pencapaian itu ditempuh melalui pola
pengembangan kawasan dengan komoditas Euchema sp dan Gracilaria sp, yang
luas lahan pengembangan yang diperlukan sekitar 25 ribu ha. Untuk
penyedian bibit, dilakukan pengembangan kebun bibit di beberapa sentra
pengembangan kawasan yakni di Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jabar,
Jateng, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultera,
Maluku dan Papua. Disamping itu akan dilakukan pula pengaturan pola
tanam serta perbaikan mutu pascapanen dengan penyediaan mesin pre
processing.
F. EKONOMI AKUAKULTUR
Budidaya Ekonomi dan Manajemen
adalah jurnal yang relatif baru. Journal menyediakan wadah tunggal
pertama untuk ekonomi budidaya dan manajemen makalah terkait - khususnya
yang bersifat terapan. Tujuan utama dari Budidaya Ekonomi dan Manajemen
adalah untuk mendorong penerapan analisis ekonomi untuk pengelolaan
akuakultur baik di sektor swasta dan publik. Journal menerbitkan asli,
berkualitas tinggi tulisan yang berhubungan dengan seluruh aspek ekonomi
budidaya dan manajemen termasuk masukan budidaya, produksi perikanan
budidaya, manajemen pertanian, pengolahan, distribusi, pemasaran,
perilaku konsumen, penetapan harga, kebijakan pemerintah, pemodelan,
perdagangan internasional, alih teknologi, kerjasama internasional, dan
dampak lingkungan. Makalah ini rekan-ditinjau dan dievaluasi untuk jasa
ilmiah dan kontribusi. Negara dan ulasan spesies juga diterima.
Di
edisi perdana diterbitkan pada bulan Maret 1997. Tujuan dari isu
pertama adalah untuk memberikan tinjauan komprehensif tentang aplikasi
dari analisis ekonomi dengan pengelolaan akuakultur baik di sektor
swasta dan publik. Himpunan kertas diundang mencakup sejarah berbagai
pendekatan dari sudut pandang aplikasi, saat ini Negara of the art, dan
prospek masa depan
Budidaya Ekonomi dan Pembiayaan: Manajemen dan Analisis
terlihat untuk menyediakan para profesional akuakultur baik dan
peneliti dengan rinci dan spesifik menetapkan pedoman untuk menggunakan
analisis ekonomi dan keuangan dalam produksi perikanan budidaya. ini
akan membahas isu-isu kunci yang terkait dengan baik pembiayaan dan
perencanaan untuk bisnis akuakultur, bagaimana untuk memonitor dan
mengevaluasi kemajuan ekonomi dan keuangan serta bagaimana mengelola
modal, tenaga kerja, dan risiko. Berdasarkan sepenuhnya pada contoh
budidaya dan sastra dengan penekanan pada tingkat perikanan dan analisis
data dan ditulis dalam terminologi akrab dengan kedua peneliti dan
profesional, Budidaya Ekonomi dan Pembiayaan akan menjadi alat penting sekali untuk aquaculturists selama bertahun-tahun yang akan dating.
Dinamika Pasar
Secara potensial, prospek pasar ikan dan produk perikanan Indonesia sangat menjanjikan, karena tiga alasan.
1. Bahwa
seiiring dengan terus bertambahya jumlah penduduk Indonesia maupun
dunia dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan nilai gizi ikan dan
produk perikanan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia, maka permintaan (demand) terhadap ikan dan produk perikanan bakal terus bertambah.
Konsumsi
ikan penduduk dunia meningkat dari 9 kg per kapita pada 1961 menjadi
16,5 kg/kapita pada 2003 (FAO, 2007). Demikian juga halnya di
Indonesia, yang pada 1998 baru mencapai 18 kg/kapita, kini sudah sebesar
28 kg/kapita.
Jika
rekomendasi Perhimpunan Ahli Gizi Indonesia terpenuhi, yakni konsumsi
ikan penduduk Indonesia rata-rata 30 kg/kapita, maka pada 2010 total
kebutuhan ikan nasional (pasar domestik) sebesar 250 juta orang
dikalikan 30 kg/orang, yaitu 7,5 juta ton. Belum lagi kebutuhan ikan
dan produk perikanan untuk ekspor, dan untuk industri tepung ikan dan
minyak ikan. Padahal, total produksi ikan dari penangkapan di laut yang
maksimum diizinkan sekitar 5,2 juta/tahun (80% dari 6,4 juta ton/tahun,
potensi lestari) dan dari penangkapan ikan di perairan umum sekitar 0,5
juta ton/tahun.
Bayangkan
pada 2040, ketika total penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 500
juta (BPS, 2006), berarti kebutuhan ikan nasional untuk konsumsi saja
mencapai 15 juta ton. Dan, penduduk dunia yang saat itu sekitar 8
miliar (PBB, 2003) akan memerlukan ikan untuk konsumsi saja, sebesar 132
juta ton. Dengan kata lain, kita mesti meningkatkan produksi aquaculture, yang saat ini baru mencapai sekitar 2 juta ton/tahun atau 3% dari total potensi produksi aquaculture nasional, sekitar 57 juta ton/tahun.
2. Dengan
semakin menciutnya padang penggembalaan dan menurunnya produksi pakan
ternak, maka pasok protein hewani yang berasal dari sapi, babi, ayam,
dan ternak lainnya diperkirakan bakal menurun. Ini hanya dapat
dikompensasi oleh protein hewani dari ikan dan produk perikanan.
Meskipun prospek pasarnya begitu cerah, namun kenyataannya kinerja
ekspor perikanan Indonesia masih jauh dari harapan kita bersama.
Seperti sudah diungkap di atas, nilai ekspor perikanan lebih rendah
ketimbang Thailand, bahkan kalah oleh Vietnam.
Kalau
pada 2002 Indonesia masih merupakan pengekspor udang terbesar ke pasar
Jepang, kini kita berada pada posisi ketiga setelah Thailand dan India.
Padahal baik potensi maupun realisasi produksi perikanan Indonesia lebih
besar daripada kedua negara tersebut. Ini pertanda ada sesuatu yang
salah dengan kinerja subsistem pasca panen dan pemasaran perikanan
Indonesia.
Sebagai ilustrasi betapa masih kurang memadainya kinerja subsistem
penanganan dan pengolahan hasil perikanan di tanah air adalah perikanan
tuna di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta,
yang nota bene merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Nusantara ini.
Hanya sekitar 45% dari total ikan tuna yang didaratkan di pelabuhan
ini, memenuhi persyaratan sebagai tuna kualitas sashimi (sashimi-grade tuna) yang diekspor langsung ke Jepang dengan pesawat terbang.
Setelah
sampai di pasar-pasar ikan Jepang, sekitar 20% dari total ikan tuna
yang diimpor dari Indonesia, kualitasnya diturunkan (down-graded) menjadi kualitas raw material-grade tuna. Perlu diketahui, bahwa harga sashimi-grade tuna di pasar Jepang berkisar dari US$ 5/kg sampai US$ 30/kg. Sedangkan, raw material-grade tuna hanya kurang dari US$ 2/kg (PCI, 2001).
Sebagaimana kita maklumi, setiap negara pengimpor produk perikanan
(Jepang, AS, Uni Eropa, dan lainnya) mengajukan sejumlah persyaratan (requirements) baik yang berkaitan dengan kualitas dan keamanan produk (non-tarrif bariers) maupun pembatasan tarif (tarrif barriers)
kepada negara atau perusahaan pengekspor. Di sinilah kita bersaing
dengan negara-negara pengekspor produk perikanan lainnya, terutama
Thailand, Cina, Vietnam, India, serta beberapa negara Amerika Selatan
dan Amerika Latin.
Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, 230 juta orang,
prospek pasar domestik untuk ikan dan produk perikanan di Indonesia
diyakini bakal semakin cerah. Kalaulah sampai saat ini, sebagian besar
(65%) produk perikanan yang dikonsumsi oleh konsumen Indonesia berupa
produk olahan tradisional seperti ikan rebus, ikan kering, ikan asap,
ikan asin, pindang, peda, daging ikan dan cincang (minced), maka ke depan dengan semakin meningkatnya daya beli (purchasing power) dan bertambahnya kelas menengah ke atas, permintaan terhadap ikan (seafood) segar, ikan hidup, ikan beku, dan produk berbasis surimi yang siap dimasak (ready-to-cook) dan siap saji atau siap santap (ready-to-serve or to eat) akan semakin berlipat ganda.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !